Jakarta –
Pemerintah Indonesia tengah merencanakan peningkatan pendapatan dari sektor pajak melalui penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang dijadwalkan mulai berlaku pada tahun 2025. Kebijakan ini diperkirakan akan berdampak signifikan pada industri otomotif, dengan kemungkinan terjadinya kenaikan harga untuk mobil dan motor baru. Di sisi lain, muncul berbagai saran agar pemerintah mempertimbangkan penerapan cukai karbon dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan PPN 12% yang direncanakan.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbel), menyatakan, “Mengenai potensi cukai karbon, jika kita ingin membuka ruang fiskal baru, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi negara. Saat ini, pemerintah sedang mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, namun setelah menjajaki berbagai opsi, belum menemukan solusi yang tepat. Oleh karena itu, langkah yang diambil adalah meningkatkan pajak (PPN 12%),” dalam diskusi bertema Opsi Lain PPN 12%: Cukai Karbon Kendaraan – Catatan Mitigasi Emisi Kendaraan Tahun 2024, di Jakarta, Senin (30/12/2024).
Safrudin menambahkan bahwa penerapan cukai karbon dapat menjadi alternatif yang lebih baik daripada hanya mengandalkan PPN 12%. Ia menjelaskan bahwa pemerintah dapat menerapkan skema tax feebate dan tax rebate untuk kendaraan bermotor.
“Tax feebate adalah pajak tambahan yang dikenakan pada barang yang dibeli oleh masyarakat. Sebaliknya, rebate adalah insentif yang diberikan kepada masyarakat jika mereka memenuhi syarat tertentu dalam mengkonsumsi barang tertentu. Syarat tersebut adalah standar emisi karbon,” jelas Safrudin.
Ia juga menyarankan agar pemerintah menetapkan standar emisi gas buang untuk kendaraan bermotor. Contohnya, di tahun 2025, pemerintah mungkin akan mengatur batas emisi karbon sebanyak 118 g/km untuk kendaraan roda empat penumpang atau kendaraan ringan seperti sedan dan MPV.
“Untuk sepeda motor, kami berharap pemerintah menetapkan batas maksimum sebesar 85 g/km. Sementara untuk kendaraan berat seperti bus dan truk, diharapkan bisa ditetapkan batas maksimum sekitar 1.500 g/km,” tambahnya.
Safrudin menegaskan bahwa dengan menerapkan standar emisi karbon ini, pemerintah bisa mendapatkan potensi pendapatan baru yang lebih besar dibandingkan PPN 12%.
“Apakah kendaraan dengan emisi karbon yang melebihi standar tidak boleh diproduksi dan dijual di Indonesia? Tentu saja bisa, namun akan dikenakan disinsentif atau penalti,” tegasnya.
Penalti ini nantinya akan dikenal sebagai ‘cukai karbon’. Setiap gram emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan akan dikenakan cukai.
“Sebaliknya, setiap gram di bawah standar akan mendapatkan insentif, sehingga kendaraan dengan emisi karbon tinggi akan lebih mahal. Sementara kendaraan dengan emisi rendah akan menjadi lebih terjangkau. Ini akan mendorong masyarakat untuk memilih kendaraan dengan emisi karbon yang lebih rendah, karena harga yang lebih ekonomis. Ini adalah langkah yang lebih adil,” lanjut Safrudin.
Tarif Cukai untuk Kendaraan dengan Emisi Karbon Tinggi
Safrudin menjelaskan bahwa kendaraan dengan emisi karbon yang melebihi ketentuan dapat dikenakan cukai berdasarkan gramnya. “Perhitungan kami menunjukkan sekitar Rp 2.250.000 per gram. Sebagai contoh, kendaraan MPV yang saat ini rata-rata memiliki emisi karbon 200 g/km, berarti ada kelebihan sekitar 82 g. Dengan perhitungan 82 g dikali Rp 2.250.000, total cukai yang harus dibayar sekitar Rp 180 juta. Angka ini akan menambah harga jual kendaraan tersebut,” katanya.
Ia memberikan contoh, jika sebuah MPV dijual dengan harga Rp 460 juta, setelah dikenakan cukai karbon sebesar Rp 180 juta, harga totalnya menjadi sekitar Rp 640 juta.
Di sisi lain, kendaraan dengan emisi karbon di bawah standar berhak mendapatkan insentif. “Contohnya, Battery Electric Vehicle yang harganya sekitar Rp 700 juta dengan emisi karbon rata-rata antara 50-60 g/km, sehingga ada selisih emisi sekitar 58 g di bawah standar. Jika 58 g dikali Rp 2.250.000, maka ada sekitar Rp 135 juta yang bisa mengurangi harga mobil listrik tersebut. Jadi, harga awal Rp 700 juta, dikurangi Rp 135 juta, sehingga harga akhirnya hanya Rp 565 juta. Ini menunjukkan bahwa harga mobil dengan emisi rendah menjadi lebih terjangkau,” jelasnya.
Pemerintah Berpotensi Menghasilkan Rp 92 Triliun dari Cukai Karbon
Pemerintah diperkirakan dapat menghasilkan pendapatan puluhan triliun rupiah setiap tahun dari penerapan cukai karbon. Pendapatan ini dapat berasal dari rata-rata penjualan satu juta unit mobil dan sekitar enam juta unit sepeda motor setiap tahunnya.
“Kami menghitung bahwa pemerintah memiliki potensi pendapatan sekitar Rp 92 triliun dari cukai karbon kendaraan bermotor, angka yang sangat besar. Jika dibandingkan dengan kenaikan PPN 1% (dari 11% menjadi 12%), itu hanya menghasilkan sekitar Rp 67 triliun. Artinya, (cukai karbon) lebih besar Rp 25 triliun dibandingkan PPN 12%. Jadi, mengapa pemerintah tidak mempertimbangkan opsi (cukai karbon) seperti ini?” tanya Safrudin.
(lua/dry)